MUSDA Golkar Sumut akan segera digelar dalam waktu dekat. Siapa kandidat terkuat yang akan memimpin partai beringin ini untuk periode mendatang?
Pertama, Golkar Sumut membutuhkan kader yang lebih segar. Pemimpin yang ada sekarang telah menorehkan prestasi dalam pemilu, menaikkan suara legislatif.
Tetapi apakah faktor itu cukup meyakinkan dan adaptif terhadap angin perubahan politik yang terjadi, baik dalam skala nasional maupun lokal?
Pasalnya, seperti yang tampak di permukaan, Pemilukada Golkar yang punya suara besar itu hanya menempatkan kadernya sebagai wakil gubernur. Dalam konteks ini tampak bahwa Golkar kurang greget di Pilkada provinsi.
Ada klaim sekitar 8 kepala daerah dimenangkan kader Golkar di pemilukada kabupaten/kota. Tetapi dengan gejala politik Avonturir yang mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, penting bagi peserta dan pemilik suara mempertimbangkan gejala politik ini.
Kedua, penting membaca arah angin politik nasional, mengarah ke mana. Artinya, konstelasi politik nasional dapat dijadikan parameter pemilihan ketua DPD Golkar Sumut.
Benar bahwa arus suara secara dinamis datang dari bawah. Tetapi sebagai referensi, arus bawah mesti melihat apakah pilihan mereka menghasilkan pengembangan atau justru kontraproduktif dengan arahan pusat.
Dalam konteks inilah diperlukan alternatif kepemimpinan. Toh, stok kader Golkar cukup banyak.
Ketiga, kepemimpinan partai di Sumut memerlukan sinergi kepada pemerintah provinsi. Komunikasi yang konstruktif kepada pemerintah provinsi penting dalam menjaga daya tahan partai dan pengembangan organisasi.
Oleh karena itu figur yang punya paradigma harmoni dan kolaborasi bisa didukung.
Keempat, institusionalisasi partai diperlukan. Ini salah satu kekuatan Golkar. Golkar adalah partai modern yang dinamis dan adaptif.
Sebagai contoh, pemeranan kader perempuan sebagai Ketua DPRD Sumut.
Ini jelas sebuah kemajuan penting. Baru kali ini dalam sejarah politik provinsi, lembaga DPRD Sumut dipimpin perempuan.
Oleh karena itu, setiap dinamika masyarakat harus dibaca sebagai pedoman langkah kerja politik.
Konstituen millenial dan genzi, misalnya, mesti disikapi dengan cara menghadirkan figur kepemimpinan yang representatif dalam skala umur dan selera politik.
Penulis : Faisal Riza, Analis Politik